|
|
Karakter Pemimpin Ideal Dalam Pandangan Alfiyah Ibnu Malik
Dalam sebuah organisasi, posisi seorang pemimpin memiliki peran sangat vital sekali, karena ia bagaikan hati dalam jiwa, ia adalah mesin bagi sebuah kendaraan, ia laksana makanan bagi setiap makhluq yang bernyawa, ia adalah imam bagi ma`mumnya, ia bagaikan bapak bagi ibu dan anaknya, ia adalah Presiden bagi bangsa dan negaranya, Gubernur bagi wilayahnya, Bupati bagi daerahnya, Walikota bagi kotanya, ia pula laksana Direktur di sebuah perusahaan ataupun lembaga, ialah satu-satunya diantara sekian banyak orang yang ada dalam struktur organisasi tertentu yang akan menjadikan organisasi itu maju atau justru sebaliknya, ia urat nadi kehidupan, mesin motor yang menggerakkan, dialah yang oleh Ibnu Malik dikonsepsikan sebagai Mubtada` dalam maha karyanya, Alfiyah Ibn Malik :
مُبْتَـدَأ زَيْدٌ وَعَـــاذِرٌ خَبَـــــرْ ¤ إِنْ قُلْتَ زَيْدٌ عَاذِرٌ مَنِ اعْتَذَرْ
Mubtada` menurut ibn Malik dalam nazham Alfiyah ialah seorang pemuka sebuah organisasi dengan kecakapan dan keterampilan memimpin melebihi yang lain (zaidun), penuh kasih dan sayang, bersifat pema`af (`adzir) terhadap bawahannya (khabar) dan berkarakter jiwa mulia dalam menjabat sebagai pimpinan disetiap badan yang terorganisir, sebagaimana ditegaskan dalam bait nadzam Alfiyah yang menerangkan kriteria mubtada-khabar (Mubtada`un zaidun wa`adzirun khabar – in qulta zaidun `adirun mani`tadar), artinya, bahwa standard ideal seorang pemimpin haruslah berjiwa pema`af (`adirun mani`tadzar), tetapi tidak untuk semua hal yang melanggar aturan tetap dalam organisasi harus dima`afkan dengan serta-merta karena dalih berjiwa pema`af, seperti contoh pelanggaran terhadap AD/ART, aturan atau ketetapan lain yang berkekutan hukum hampir sepadan dengannya yang dalam gramatikal arab semua itu dikenal dengan sebutan kaidah-kaidah lazimah, seperti mubtada` harus dibaca rafa`, fi`il madhi maftuhul akhir abadan illa idza kana muttashilan bi ta`iddomir almutaharrik, ila ghairi dzalik…
Hal-hal yang demikian itu harus diadakan pengkajian lebih mendalam lagi melalui tahapan prosedural yang jelas, jika tidak, maka keganjilan demi keganjilan yang akan terjadi kemudian, itulah yang kita sebut nadir, langka, jarang terjadi atau bahkan syad, keluar dari frem yang telah menjadi garis keniscayaannya..
Kendati seorang pemimpin dituntut berjiwa lembut, pengasih dan penyayang yang oleh Ibn Malik disederhanakan bahasanya dalam kemasan sifat kemanusiaan yaitu `adzir (pema`af), namun aturan yang telah disepakati dalam sebuah organisasi harus pula diikuti oleh setiap komponen yang ada di dalamnya, maka, jika ada pelanggaran terhadap AD/ART sebuah organisasi (kaidah-kaidah lazim dalam gramatika Arab) di setiap tingkatan keorganisasian, mulai dari tingkat desa, kota, daerah, wilayah atau bahkan dalam skala yang lebih besar, yaitu negara sekalipun..
Wal Hal, pemimpin (mubtada) ideal adalah manusia yang berakal sempurna (al ism al marfu`) dan menjadikan akalnya sesuai fungsi dasar dari akal tersebut (al `ari `anil awamilil lafzhiyah). Hal itu bisa didapat jika orang yang menjadi pemimpin (mubtada) tersebut memiliki kecakapan lebih dalam banyak disiplin ilmu pengetahuan, berhati ikhlas serta berjiwa pema`af, bersifat arrahman-arrahim, karena sifat itu lazim dinisbatkan kepada Allah azza wajalla.
Dalam konteks berhati ikhlas serta berjiwa pema`af (`adzir mani`tadzar), Ibn Malik memilih menjadikan hal itu sebagai kriteria yang sangat penting dan paling asasi dalam karakter pemimpin ideal, mengingat sifat manusia yang sedang menjadi penguasa (pemimpin) sering kali lupa akan sifat dasar kemanusiaannya, ia seakan manusia tanpa lupa, alpa dan dosa. Bertameng kekuasaannya, ia bisa saja menjadikan orang lain yang sedang berada di bawah kuasanya sebagai manusia yang tidak berdaya bahkan menjadikan lebih tidak berdaya lagi, sifat itu, justru sering muncul dari perasaan seorang manusia yang sedang menjadi pemimpin (mubtada) yang tidak berkenan mema`afkan kesalahan orang lain, dalam istilah kepemimpinan lebih dikenal dengan term diktator (istibdadi).
Pemimpin (mubtada) dengan model diktator tersebut, tidak segan-segan hanya mencukupkan dirinya sendiri secara pribadi dan tidak memasang khabar sebagai wakil tetap dalam upaya kelengkapan dan kesempurnaan semua kerja organisasinya, justru ia lebih percaya kepada pihak lain (fa`il, mitra kerja) untuk menggantikan posisi khabar yang semestinya, kehadiran fa`il dipasang sebagai mitra kerja pengganti khabar, dalam term gramatikal arab disebut fa`il sadda masaddal khabar yang merupakan bagian kedua dari pembagian mubtada (pemimpin), seperti dipertegas dalam Syarah Alfiyah ibn Malik karya ibn Aqil, menurutnya, mubtada dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama mubtada (pemimpin) yang memiliki khabar (wakil) dan kedua mubtada (pemimpin) yang memposisikan fa`il sebagai sadda masaddal khabar (mitra kerja).
Hasbi el-Alawy
مُبْتَـدَأ زَيْدٌ وَعَـــاذِرٌ خَبَـــــرْ ¤ إِنْ قُلْتَ زَيْدٌ عَاذِرٌ مَنِ اعْتَذَرْ
Mubtada` menurut ibn Malik dalam nazham Alfiyah ialah seorang pemuka sebuah organisasi dengan kecakapan dan keterampilan memimpin melebihi yang lain (zaidun), penuh kasih dan sayang, bersifat pema`af (`adzir) terhadap bawahannya (khabar) dan berkarakter jiwa mulia dalam menjabat sebagai pimpinan disetiap badan yang terorganisir, sebagaimana ditegaskan dalam bait nadzam Alfiyah yang menerangkan kriteria mubtada-khabar (Mubtada`un zaidun wa`adzirun khabar – in qulta zaidun `adirun mani`tadar), artinya, bahwa standard ideal seorang pemimpin haruslah berjiwa pema`af (`adirun mani`tadzar), tetapi tidak untuk semua hal yang melanggar aturan tetap dalam organisasi harus dima`afkan dengan serta-merta karena dalih berjiwa pema`af, seperti contoh pelanggaran terhadap AD/ART, aturan atau ketetapan lain yang berkekutan hukum hampir sepadan dengannya yang dalam gramatikal arab semua itu dikenal dengan sebutan kaidah-kaidah lazimah, seperti mubtada` harus dibaca rafa`, fi`il madhi maftuhul akhir abadan illa idza kana muttashilan bi ta`iddomir almutaharrik, ila ghairi dzalik…
Hal-hal yang demikian itu harus diadakan pengkajian lebih mendalam lagi melalui tahapan prosedural yang jelas, jika tidak, maka keganjilan demi keganjilan yang akan terjadi kemudian, itulah yang kita sebut nadir, langka, jarang terjadi atau bahkan syad, keluar dari frem yang telah menjadi garis keniscayaannya..
Kendati seorang pemimpin dituntut berjiwa lembut, pengasih dan penyayang yang oleh Ibn Malik disederhanakan bahasanya dalam kemasan sifat kemanusiaan yaitu `adzir (pema`af), namun aturan yang telah disepakati dalam sebuah organisasi harus pula diikuti oleh setiap komponen yang ada di dalamnya, maka, jika ada pelanggaran terhadap AD/ART sebuah organisasi (kaidah-kaidah lazim dalam gramatika Arab) di setiap tingkatan keorganisasian, mulai dari tingkat desa, kota, daerah, wilayah atau bahkan dalam skala yang lebih besar, yaitu negara sekalipun..
Wal Hal, pemimpin (mubtada) ideal adalah manusia yang berakal sempurna (al ism al marfu`) dan menjadikan akalnya sesuai fungsi dasar dari akal tersebut (al `ari `anil awamilil lafzhiyah). Hal itu bisa didapat jika orang yang menjadi pemimpin (mubtada) tersebut memiliki kecakapan lebih dalam banyak disiplin ilmu pengetahuan, berhati ikhlas serta berjiwa pema`af, bersifat arrahman-arrahim, karena sifat itu lazim dinisbatkan kepada Allah azza wajalla.
Dalam konteks berhati ikhlas serta berjiwa pema`af (`adzir mani`tadzar), Ibn Malik memilih menjadikan hal itu sebagai kriteria yang sangat penting dan paling asasi dalam karakter pemimpin ideal, mengingat sifat manusia yang sedang menjadi penguasa (pemimpin) sering kali lupa akan sifat dasar kemanusiaannya, ia seakan manusia tanpa lupa, alpa dan dosa. Bertameng kekuasaannya, ia bisa saja menjadikan orang lain yang sedang berada di bawah kuasanya sebagai manusia yang tidak berdaya bahkan menjadikan lebih tidak berdaya lagi, sifat itu, justru sering muncul dari perasaan seorang manusia yang sedang menjadi pemimpin (mubtada) yang tidak berkenan mema`afkan kesalahan orang lain, dalam istilah kepemimpinan lebih dikenal dengan term diktator (istibdadi).
Pemimpin (mubtada) dengan model diktator tersebut, tidak segan-segan hanya mencukupkan dirinya sendiri secara pribadi dan tidak memasang khabar sebagai wakil tetap dalam upaya kelengkapan dan kesempurnaan semua kerja organisasinya, justru ia lebih percaya kepada pihak lain (fa`il, mitra kerja) untuk menggantikan posisi khabar yang semestinya, kehadiran fa`il dipasang sebagai mitra kerja pengganti khabar, dalam term gramatikal arab disebut fa`il sadda masaddal khabar yang merupakan bagian kedua dari pembagian mubtada (pemimpin), seperti dipertegas dalam Syarah Alfiyah ibn Malik karya ibn Aqil, menurutnya, mubtada dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama mubtada (pemimpin) yang memiliki khabar (wakil) dan kedua mubtada (pemimpin) yang memposisikan fa`il sebagai sadda masaddal khabar (mitra kerja).
Hasbi el-Alawy